sorry ya gan,,,

blog nya lagi dalam masa perbaikan neh,,

maaf atas ketidaknyamanan nya,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

moga2 bisa cpet selesai aja...

doa nya gan,,,,,,,

rss

Thursday, November 4, 2010

HUKUM TAHLILAN DALAM TINJAUAN SYAR'I

share

ý     Sejarah Tahlilan
Sebelum agama islam masuk ke negara Indonesia, sebagian besar penduduk Negara ini menganut bebagai macam kepercayaan, dan yang paling mendominasi adalah keyakinan animisme dan dinamisme yang diadopsi dariajaran agama hindu dan budha. Termasuk dari keyakinan tersebut, meyakini bahwa arwah orang yang mati akan senantiasa gentayangan di sekitar rumahnya selama 7 hari, kemudian pada hari yang keempat puluh, kemudian hari yang keseratus, kemudian hari yang keseribu, dan seterusnya, yang jikalau di dalam rumah tadi tidak orang ramai berkumpul dan mengadakan sesaji, seperti membakar kemenyan dan memberikan sesaji kepada yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang yang mati tadi akan marah dan merasuki jasad orang-orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Sehingga untuk menghindari gangguan arwah tersebut, masyarakat mengadakan ritual khusus yang di dalmnya dibacakan mantra-mantra tertentu menurut keyakinan mereka masing-masing.
Keyakinan tersebut masih tetap dilakukan, hingga agama islam masuk dan berkembang di Asia. Sehingga para ulama islam yang datang ke indonesia  mengubahnya dengan nuansa yang islami, karena mereka melihatnya sebagai suatu kemungkaran. Yang sebelumnya membaca mantra-mantra yang tidak  jelas maknanya dan tidak dibenarkan menurut syari'at islam, diganti dengan membaca tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan surat-surat pilihan dari Al-Qur'an. Dengan harapan agar mereka mau meninggalkan acara ritual itu sedikit semi sedikit, dan kembali kepada agama islam yang murni. Akan tetapi, mereka lebih dahulu meninggal dunia sebelum harapan mereka tersebut terwujud. Acara inilah yang dikemudian hari dikenal dengan nama tahlilan.
Kemudian datanglah generasi selanjutnya yang tidak mengetahui maksud dan tujuan dakwah yang diinginkan generasi sebelumnya. Dan yang terjadi bukannya mereka melanjutkan maksud dan tujuan dakwah, akan tetapi malah  mereka mengikuti ritual tersebut tanpa mengetahui asal muasalnya. Bahkan diantara mereka ada yang membuat perubahan dari bacaan-bacaan yang ada, baik menguranginya atau menambahinya. Sehingga yang kita lihat sekarang ini banyak acara tahlilan di suatu tempat berbeda dengan tahlilan di tempat yang lain.

ý     Dasar-Dasar Yang Mengatakan "Bolehnya" Tahlilan
Diantara dalil-dalil yang digunakan orang-orang yang berpendapat diper"boleh"kannya tahlilan adalah sebagai berikut :
o       Sebuah perkataan Abu Zaid Al-Qurthubi yang berbunyi
أنّ من قال : لا إله إلاّ الّله سبعين ألف مرة كانت فداءه من النّار
Artinya: "barangsiapa membaca laa ilaha illallah tujuh puluh ribu kali, maka hal itu sebagai tebusannya di neraka."
Atsar tersebut tertulis di dalam kitab Al-Mustahraf Fii Kulli Fannin Mustahraf karya Al-Absyihi. Akan tetapi di dalam kitab tersebut tidak disebutkan kedudukannya. Di sinilah letak kesalahan orang yang melakukan ritual tersebut. Mereka melakukan suatu ibadah yang dalilnya belum diketahui kedudukannya. Selain itu, (menurut pengetahuan saya) bacaan laa ilaha illallah yang dibaca di dalam ritual tersebut tidak mencapai tujuh puluh kali sebagaimana yang disebutkan dalam atsar di atas. Jadi di mana letak kesesuaian antara atsar di atas dengan acara tahlilan yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia ??
o       Hadist yang diriwayatkan oleh 'Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshor, ia berkata, "Saya pernah melayat dengan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, dan disaat itu saya melihat beliau menasehati penggali kubur seraya bersabda 'luaskanlah bagian kepala dan kakinya.' Setelah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pulang, beliau diundang oleh salah seorang perempuan. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun memenuhi undangannya, dan saya ikut beliau. Ketika makanan sudah dihidangkan, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun makan diikuti para tanu undangan lainnya. Pada saat beliau akanmengunyah makanan, beliau bersabda, 'aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya.' Kemudian wanita itu bergegas menemui Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam sembari berkata, ' wahai Rasulullah, saya sudah menyuruh orang untuk pergi ke Baqi' (suatu tempat penjualan kambing), namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing yang ia beli dijual kapada saya dengan harga yang lazim, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruhnya menemui istrinya dan ia pun mengirim kambingnya kepada saya.' Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun bersabda 'berikanlah makanan ini pada para tawanan.' (Sunan Abu Dawud : 2894)
Dalam hadist tersebut disebutkan bahwa lafadz undangan dari seorang perempuan adalah  داعى امرأة yang berarti bahwa perempuan yang mengundang bukan istri dari orang yang menuinggal dunia. Jikalau yang dimaksud adalah istri dari orang yang meninggal dunia, maka hadist ini seharusnya berbunyiداعى امرأته  (istri orang yang meninggal dunia). Jadi dengan sendirinya terbantahlah orang yang menganggap bahwa dalil ini memperbolehkan tahlilan. Wallahu a'laam.

ý     Hukum Berkumpul Di Suatu Tempat Dalam Rangka Tahlilan
Sudah menjadi kelaziman di masyarakat kita hari ini, pada saat diselenggarakannya acara tahlilan maka pihak keluarga yang menyelenggarakan acara tersebut menyediakan beraneka ragam hidangan makan dan minum kepada orang-orang yang datang untuk tahlilan. Bahkan bekal sebagai hadiah yang dalam istilah jawa disebut "berkat". Tentu saja ini memakan biaya yang sangat banyak sekali. Tidak masalah jikalau pihak penyelenggara termasuk golongan menengah keatas. Jika yang terjadi sebaliknya ?? Tentu saja ini menambah beban keluarga tersebut serta menambah kesusahan mereka.
Dalam hal ini ulama sepakat, bahwa penyajian makanan dari keluarga yang sedang tertimpa musibah kematian hukumnya makruh (dibenci). Bahkan ada juga yang mengharamkan hal tersebut. Padahal yang diajarkan islam justru membantu mereka yang sedang tertimpa musibah. Agar beban kesulitan yang mereka rasakan dapat terkurangi walaupun sedikit. Bukan sebaliknya keluarga yang tertimpa musibah menyajikan makanan kepada orang-orang yang datang.
Hal itu selaras dengan perintah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tatkala datang berita tentang terbunuhnya sahabat Ja'far, beliau bersabda, "buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far. Karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka." (Hadist shohih riwayat Imam Ahmad. Al-albani mengutip perkataan Al-Hakim mengatakan, "hadist ini shohih." Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Namun At-Tirmidzi menyatakan hadist tersebut hasan. Akan tetapi hadist ini dikuatkan dengan hadist dari Asma' binti Umais)
Ibnu Qudamah berkata, "secara ringkas, dianjurkan untuk membuat makanan dan memberikannya kepada ahli mayyit, sebagai pemberian pertolongan kepada mereka, dan untuk mengobati hati mereka. Karena mereka sedang disibukkan dengan musibah yang sedang mereka alami, dan disibukkan dengan menerima kedaatangan orang-orang yang datang kepada mereka ......" Senada dengan hal itu, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Fairuzabadi Asy-Syairozi berkata, "disunnahkan bagi kerabat mayit dan tetangganya untuk membuat makanan bagi ahli mayyit. Sebagaimana yang diriwayatkan tatkala Ja'far terbunuh, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far. Karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka." (H. R Tirmidzi dalam kitab Al-Janaiz 21, dan Ibnu Majjah dalam  kitab Al-Janaiz bab 59)
Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty juga berkata, "dianjurkan untuk membuat makanan untuk ahli mayyit agar menyenangkan hati mereka selama tiga hari, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, 'buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan mereka.' (HR. Asy-Syafi'i, Ahmad, At-Tirmidzi, dan beliau menghasankannya). Dan makruh bagi ahli mayyit untuk membuatkan makanan untuk orang-orang yang datang. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan Ahmad dari Jarir ia berkata, 'adalah kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayyit dan mereka menyediakan makanan sesudah mayyit dimakamkan adalah termasuk perbuatan meratap.' Hadist ini isnadnya shahih. Wallahu a'laam. Diringkas dari skripsi Ma'had 'Aly an-nuur "HUKUM MENGADAKAN RITUAL TAHLILAN MENURUT PERSPEKTIF ISLAM" oleh el_ghonilany.

0 comments:


Post a Comment

 

Mau SMS Gratis.......???