sorry ya gan,,,

blog nya lagi dalam masa perbaikan neh,,

maaf atas ketidaknyamanan nya,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

moga2 bisa cpet selesai aja...

doa nya gan,,,,,,,

rss

Tuesday, October 18, 2011

Cerita Tentang Idul Adha 2

share



Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami.
Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami.
Dia salah seorang penerima program Subsidi L
angsung Tunai (SLT) yang kini  sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang  diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah  penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding  anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di  tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.

Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah.  Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah  yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu  Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu  Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring  usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran  pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga  bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah  sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia  menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan  nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di  pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah  bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya.
Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai  anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan.
Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi  terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali  hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi  bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah  anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.

Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau  bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa  menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi  pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu  sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10  ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor  tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai  cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari  adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp  650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya  bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang  kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah  tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''

Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu. ''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi  dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''
 
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi  kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan  tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang  tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh  keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.

''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus  ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan  wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing  kurban?''

''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini  memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi  daging kurban.''

''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta  diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah  mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang  ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu  bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang  biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga  begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau  tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan,  televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing  kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing,  tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu  yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu  naik haji.

0 comments:


Post a Comment

 

Mau SMS Gratis.......???